Selasa, 23 September 2014

Anak Bukanlah Robot

Maaak....apa yang emak pikirkan tentang anak? Apakah emak-emak disini selalu menuntut anak untuk bisa ini itu? Kalau demikian sama halnya emak menjadikan anak sendiri sebagai robot. Jangan sampai seperti itu ya mak, kasihan anaknya.

Saya punya cerita nih mak. Tetangga saya mempunyai tiga orang anak cowok. Semuanya sudah bersekolah. Si sulung masuk SMA, tengah duduk di SD dan si bungsu masih TK. Nah...si emaknya selalu menuntut anak-anaknya untuk berprestasi di sekolahnya. Dalam bayangannya, anak yang pandai adalah anak yang selalu mendapat juara di kelasnya.


Sejauh ini ketiga anaknya penurut. Tak satupun ada yang membantah atau bandel. Namun yang membuat saya kasihan nih mak, kalau pas ulangan mereka tidak mendapatkan nilai bagus, maka tamparan keras itu langsung mendarat dipipi. Pernah suatu hari si tengah sedang menghadapi ulangan tengah semester. Dua hari kemudian hasil ulangan itu dibagikan. Ternyata, si tengah tidak mendapatkan nilai sesuai harapan emaknya. Bagi saya, nilai 90 itu sudah lumayan bagus. Namun emaknya selalu menuntut agar anak-anaknya mendapat nilai 100 di setiap ulangannya. Akibatnya, si tengahpun kena pukulan tangan yang keras, hingga ia menangis berkepanjangan.

Bukan sekali, dua kali si emak berbuat demikian kepada anak-anaknya. Setiap mendapat nilai jelek, anak-anak itu harus bersiap-siap menerima pukulan atau hukuman lain, seperti kepala diceburkan bak air, atau tindakan lainnya. Saya sangat iba melihatnya. Berulangkali saya berusaha menyadarkannya. Namun si emak selalu berpendapat, bahwa memberi hukuman fisik kepada anak akan membuat anaknya tambah bersemangat belajar, sehingga setiap ulangan ia akan lebih berhati-hati dan berusaha mendapatkan nilai maksimal.

Ternyata mak, anggapan si emak salah. Dengan hukuman yang diterapkan itu, membuat sang anak takut bila nilai ulangannya jelek. Akhirnya ketika ia mendapatkan nilai jelek, maka ia akan berbohong. Yah, namanya apes. Kebohongan yang disembunyikan sang anak, tercium juga oleh si emak. Bahkan yang menyedihkan, anakpun dipukul habis-habisan gara-gara ketahuan bohong.

Mak....bagaimanapun juga anak mempunyai talenta masing-masing. Dan predikat "pandai", rasanya kurang tepat bila dilihat dari sisi akademik saja. Sebagai ibu, tentunya kita tahu bagaimana kemampuan anak kita. Tidak perlu kita memaksakan sesuatu yang membuat anak tertekan. Kadang ada anak yang mampu secara akademik, namun dia kurang menguasai keahlian lain, sebaliknya ada yang nilai akademiknya kurang namun dia punya keahlian lain. Semua itu hendaknya harus kita terima dengan lapang dada.

Akan lebih baik bila kita mampu membimbing anak, mengarahkan sesuai kemampuannya, sehingga anak akan terasa nyaman dengan aktifitasnya. Ingat mak, meski kita sebagai ibunya, yang sembilan tahun mengandungnya, atau bahkan merawatnya, kita tidak bisa semaunya memerintah sesuai keinginan kita. Anak bukan robot, yang setiap saat harus melaksanakan keinginan kita.

Mari kita sama-sama introspeksi diri dan sama-sama mengingatkan, bahwa anak itu adalah amanat atau titipan Allah yang harus kita rawat, kita jaga dan kita didik sebaik mungkin, agar nantinya tumbuh menjadi pribadi yang berbudi luhur. Menjadikannya sebagai robot sama halnya mengeksploitasi anak menjadi sesuatu sesuai harapan kita, yang belum tentu membuat anak nyaman untuk melakukannya. Tak perlu kita menuntut anak harus ini dan itu. Yang harus kita lakukan adalah memberikan contoh yang baik, agar ia mau melaksanakan contoh yang kita berikan dengan ikhlas tanpa paksaan.

1 komentar:

  1. setuju, Mak. Anak itu bukan robot. Tapi, kadang ada orang tua yang entah sadar atau enggak malah merobotkan anaknya

    BalasHapus