Rabu, 17 September 2014

Tetangga Juga Saudara

Maaak....saya baru nyadar setelah tinggal di kompleks. Dulu orang tua saya mati-matian menolak ambil KPR alias perumahan. Alasannya takut bermasalah. Etapi bukan masalah karena tidak kuat bayar cicilan lho...melainkan permasalahan seringkali timbul antar ibu-ibu di kompleks.

Harusnya ya kalau tinggal di perumahan yang padat penduduknya, kekeluargaannya juga baik. Tapi ternyata malah sebaliknya. Tidak akur, saling cekcok, suka pamer, sering iri, jadi makanan empuk di kompleks. Padahal lho mak andai kita termasuk pendatang, bisa jadi tetangga kita yang jadi saudara. Coba bayangin, kalau kita atau keluarga kita sedang sakit, mau minta bantuan ke siapa kalau tidak ke tetangga dekat? Hayo....ngaku deh....

Nah saya mau ngasih cerita nih. Kebetulan saya tinggal di rumah yang baru di  bangun. Deretan saya ada tiga rumah lagi yang bakal jadi tetangga. Karena dulunya tanah yang dibangun rumah baru ini adalah lahan kosong, akhirnya oleh warga sekitar ditanami pohon mangga, agar tidak panas. Begitu lahan kosong jadi empat deret rumah, pohon mangga ini dibiarkan berdiri dan berbuah.

Ternyata pohon mangga ini pangkal permasalahannya. Si penanam pohon tetap menganggap itu tanamannya, sehingga bila buahnya lebat, maka ia akan memetiknya. Namun si pemilik rumah baru, yang masih tetangga saya, mengklaim bahwa itu pohon mangganya. Dengan alasan siapapun yang menanam kalau sudah berada di depan rumahnya, makan pohon itu akan menjadi milik si pemilik rumah baru.

Suatu hari si pemilik rumah baru sedang cuti, sementara pohon mangga sedang berbuah lebat. Ada pedagang buah yang berniat memborong mangga-mangga itu. Tanpa pikir panjang, si penanam pohon mangga langsung menjual semua buah mangganya tanpa tersisa sebijipun. Ya...namanya dia yang menanam, pikirnya dia berhak menjual apa yang sudah ditanam.

Seminggu kemudian si pemilik rumah baru datang. Ia mendapati pohon mangga di depan rumahnya telah habis buahnya. Bukan main marahnya dia. Padahal dia bermaksud akan membagikan mangga-mangga itu ke tetangganya bila telah masak. Akhirnya mulai detik itu, dia memutuskan hubungan persaudaraan dengan si penanam pohon mangga itu.

Ya...hanya masalah siapa penanam dan siapa pemilik pohon, dapat mengakhiri sebuah hubungan. Sungguh sangat disayangkan bila itu menimpa orang-orang yang mengaku telah dewasa. Memang dalam Islam telah dijelaskan barangsiapa yang mempunyai tanaman berbuah dan buahnya masuk ke pekarangan tetangga, maka buah itu akan menjadi milik tetangga. Demikian juga bila ada seseorang yang memasak, sementara aroma masakannya tercium oleh tetangga, maka si pemasak wajib memberikan sebagian masakannya kepada tetangga.

Jadi hidup bertetangga harus sama-sama mengerti dan sama-sama mampu menahan emosi. Bila salah satu pihak tidak ada yang mau mengalah, bisa jadi akan menimbulkan perpecahan. Padahal hidup di lingkungan masyarakat, mau tidak mau kita harus berinteraksi dengan tetangga, karena hanya tetanggalah yang pertama kali menolong kita disaat kita membutuhkan bantuan. 

Kalau begitu mak....lebih baik kita mengalah daripada terus menerus memendam amarah hanya karena persoalan sepele. Toh...andai kita tidak mendapat bagian buah mangga, masih banyak buah mangga yang dijual di pasar. Dan kalau kita lelah karena tiap hari panen daun, anggap saja kita sedang berolahraga, sehingga ikhlas membersihkannya. Bukankah pikiran yang tenang, hati yang bahagia akan membuat kita terbebas dari salah sangka. Apalagi hidup di lingkungan tetangga, pastinya tetanggalah yang akan menjadi saudara kita. Dan hanya sikap dewasalah yang bisa membuat kita menerima keadaan. Move on yuk mak.....

1 komentar:

  1. Kalau dipikir2 yang nanam juga salah. Wong tanah udah milik orang lain kok dihaki ya. Kalau saya jadi yang punya tanah daripada ribut ua dibagi 2. Kasih tuh yang nanam. Kalau nggak terima ya tak suruh cabut pohon mangganya :P

    BalasHapus