sumber disini |
Maaak…..basi gak sih kalau ngomongin K-13 lagi? Hehehe…bukan
sok ikutan atau hanya ingin update blog, tapi saya perlu menulisnya disini.
Sama sekali bukan untuk menjudge melainkan sebagai bandingan penerapan K-13.
Halah sok ilmiah hehehe….yang jelas ketika Fawaz naik kelas
4, dia sudah mulai menerima materi pelajaran sesuai kurikulum 2013. Tadinya saya
heran, mengapa LKS yang diberikan campur aduk seperti itu? Yah….namanya belum
tahu K-13 itu seperti apa.
Ternyata mak, memang seperti itulah penerapan K-13. Bukunya
makin sedikit, sedang materinya diringkas menjadi per tema. Jadi mata pelajaran
yang selama ini kita kenal (matematika, bahasa Indonesia, PKN, IPA, IPS, Penjas
dan kesenian) diringkas dalam satu tema dan dalam 1 bahasan topik. Misal dalam
buku tema 1 mengulas “Indahnya Kebersamaan”, maka berbagai mata pelajaran itu
diterapkan dalam satu tema.
Susah gak sih? Kalau saya bilang ya tergantung. Artinya tergantung
cara menerangkan guru kepada murid, juga tergantung orang tua mendampingi
anaknya belajar. Tetapi diluar sana banyak yang mengeluhkan K-13 ini. Guru saja
bingung mengajar apalagi orang tuanya tambah pusing hehehe…..
Tapi bagi saya K-13 ini sangat membantu murid lho mak, kalau
gurunya pandai menjelaskan setiap tema. Contohnya di kelas Fawaz. Tadinya murid-murid
ada yang malas sekolah, malas mengerjakan PR dan sebagainya. Namun ketika sang
guru menerapkan cara untuk mengejar poin, akhirnya semua murid berlomba-lomba
mendapatkan poin dengan mempelajari setiap tema yang diajarkan guru di sekolah.
Tak terkecuali Fawaz. Kalau tidak benar-benar sakit, ia tak
akan ijin sekolah. Intinya K-13 ini menumbuhkan semangat dan kreatifitas
murid-murid. Namun dibalik kelebihan K-13 ada beberapa kekurangannya. Saya melihat
dari kacamata emak-emak ya. Penerapan K-13 ini membuat murid kurang matang
menerima setiap materi yang diajarkan. Sebagai contoh matematika. Di K-13 ini pelajaran matematika dicampur
dengan mata pelajaran lainnya, sehingga ketika murid-murid sudah mempelajari
tema 5 misalnya, bila gurunya memberinya soal matematika di tema 1, mereka akan
kesulitan. Salah satu alasannya adalah “lupa”.
Saya kira wajar kalau murid-murid lupa, karena cara belajar
yang campur aduk seperti itu. Beda kalau materi yang diterima per mata
pelajaran. Contohnya matematika di semester satu, pastinya murid akan tahu bab
apa saja yang dibahas. Dari situ mereka akan mudah mengingatnya.
Kelemahan yang kedua adalah buku tulis. Kalau dulu setiap
murid mempunyai buku tulis untuk masing-masing mata pelajaran, tetapi di K-13
ini mereka cenderung mencampur setiap catatan, karena materi yang diterimanya
campur aduk. Saya rasa jelas hal ini membingungkan murid, bahkan menyulitkan
mereka untuk mendalami materinya.
Dan yang lebih membuat saya kelabakan mak……saat ini Fawaz
tengah menghadapi Ujian Akhir Semester 1. Logikanya kalau materi pelajaran yang
diterima di sekolah berdasarkan K-13, harusnya soal ujian yang dibuat Diknas
juga berupa soal ujian yang mengacu ke K-13, sehingga murid akan mempelajari
materi per tema. Namun ternyata soal ujiannya berupa mata pelajaran. Misal
ujian hari Senin adalah bahasa Indonesia dan PKN, demikian seterusnya.
Coba mak kebayang gak bagaimana para orang tua kelabakan
mendampingi anaknya belajar? Kalau soal per tema sih saya rasa masih mudah
mempelajarinya, tetapi jika soal diberikan dalam bentuk mata pelajaran? Itu
artinya orang tua harus bekerja keras memilah-milah soal. Dengan kata lain
jauh-jauh hari orang tua harus membaca satu persatu tema (kalau tidak salah
semester satu ada 5 tema yang disusun dalam 5 buku), dan memilahnya permata
pelajaran. Hmm….
Saya sudah menanyakan ke sang guru. Beliau menyampaikan pada
saat workshop soal ujian yang akan diberikan dalam bentuk soal per tema, namun
kenyataannya menjelang ujian soal yang didistribusikan ke sekolah-sekolah dalam
bentuk soal per mata pelajaran.
Sempat bertanya dalam hati. Bagaimana seandainya orang tua
tidak pernah mendampingi anaknya belajar? Bisa jadi mereka tidak mengetahui
seperti apa pelajaran yang diterima anaknya di sekolah. Lantas bila yang
mendapatkan K-13 adalah anak-anak SD yang belajarnyapun masih harus ditunggui
atau bahkan disuruh, saya tidak yakin mereka dapat menjawab soal ujian dari
Diknas dengan benar.
Inilah alasan saya mengapa K-13 ini belum sepenuhnya matang.
Semoga kurikulum ini diolah kembali agar tidak merugikan murid. Jelas saja bila
proses semacam ini terus dilanjutkan, program pemerintah untuk memajukan
pendidikan atau mencerdaskan anak bangsa, tentu akan gagal. Sebelum menerapkan
sebuah program kerja harus ditinjau terlebih dahulu kesiapan sarana dan
prasarana. Disamping itu cara pengimplementasian kepada guru atau tenaga
pendidik yang akan menerapkan K-13 haruslah benar. Jangan sampai dari pusat
memberikan A ternyata akan berbunyi B setelah diterima o;eh guru. Akibatnya muridlah
yang jadi sasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar