Jumat, 05 Desember 2014

Belajar Bersahabat Dari Anak-anak

Maaak.....seringkali kita merasa kikuk untuk menjalin persahabatan. Kadang kala jabatan, status sosial atau asal usul keluarga menjadi penghalang jalinan persahabatan. Tak ayal kita menganggap diri kita paling rendah dan merasa tidak pantas berada diantara orang-orang yang tingkat ekonomi atau jabatannya lebih tinggi dari kita.
Di Bali Fawwaaz tak kesulitan menjalin persahabatan

Tidak perlu jauh-jauh, bayangkan antara seorang wanita karier dengan ibu rumah tangga. Pasti ibu rumah tangga menganggap dirinya rendah sehingga merasa tidak dihargai. Atau seseorang yang jabatan di kantornya lebih rendah dari temannya, maka ia merasa tidak pantas melanjutkan persahabatan. Lebih baik ia mundur dan menjauh.

Saya rasa itu hanyalah sebuah praduga. Padahal andai kita pandai menjalin hubungan, tentu tidak demikian pada kenyataannya. Persahabatan yang baik adalah jalinan yang tidak pernah membedakan atau membandingkan. Ingat, segala yang melekat dalam diri kita baik itu harta, pangkat, jabatan dan sebagainya, hanya milik Allah semata.

Allah telah menciptakan skenario yang berbeda-beda pada umat-Nya. Bukan berarti Ia pilih kasih, namun semua keadaan yang membelenggu umat-Nya adalah sebuah cobaan. Ada yang dicoba dengan kekayaan dan jabatan yang tinggi. Ada pula yang dicoba kehidupan yang serba susah. Intinya, dengan berbagai cobaan ini, manusia dapat menghadapinya dengan hati lapang sembari mengucap syukur dan menerimanya dengan ikhlas.

Berbicara mengenai persahabatan, saya justru terinspirasi oleh persahabatan Fawaz. Kehidupan yang berpindah-pindah dari satu pulau ke pulau lain, justru membuatnya mempunyai banyak teman. Dulu ketika masih di Papua, ia sering berteman dengan putra daerah tanpa memandang risih atau kikuk. Begitu pindah ke Jawa, iapun kembali menjalin hubungan dengan anak-anak Jawa. Kini, disaat kami menetap di Bali, Fawaz tak canggung bersahabat dengan anak-anak Bali yang mayoritas beragama Hindu. Merekapun saling menerima dan bersahabat dengan akrab.

Bukan hanya itu, persahabatan anak-anakpun tak pernah memandang status sosial dan jabatan orang tuanya. Fawaz bahkan akrab dengan anak mas penjual es degan yang biasa mangkal di asrama kami. Bahkan, ia juga akrab dengan anak atasan suami saya. Hampir setiap minggu ia diajak serta rekreasi di tempat-tempat wisata. Sama sekali tak ada jarak atau jurang pemisah pada persahabatan mereka.

Melihat persahabatan anak-anak, sayapun jadi mikir, andai kita-kita para orang tua bersahabat layaknya anak-anak, tentunya jalinan itu akan terasa indah. Tak ada lagi perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin. Tak ada juga perbedaan antara yang bekerja atau yang pengangguran.

Terbayang kala dulu masih sekolah, persahabatan itu terjalin demikian indahnya. Namun ketika masa sekolah itu berlalu dan masing-masing telah berkeluarga, hubungan itu menjadi hambar. Persahabatan jadi terkotak-kotak. Yang bekerja di instansi pemerintahan ngumpul jadi satu, yang karyawan perusahaan ngumpul jadi satu, dan yang pengangguran mundur dengan telak karena minder. Sungguh amat disayangkan.


Andai mereka melihat persahabatan anak-anak yang tulus dan tak pernah memandang perbedaan, saya yakin pengkotakan itu tak akan pernah terjadi. Yuk mak kita rubah cara pandang kita tentang arti persahabatan. Jangan lagi memandang terlalu jauh untuk sebuah persahabatan. Allah menciptakan kita sama, mengapa justru kita yang merasa berbeda? Lebih baik kita jalin persahabatan tanpa sebuah prasangka.  

2 komentar:

  1. Iya mak. Pertemanan anak-anak itu memang natural. Saya juga tidak pernah mendapati anak-anak berteman karena memandang status sosial. Salam kenal mak

    BalasHapus
  2. Tapi kalo di sinetron persahabatan anak SD aja udah penuh dengan drama ya mak hehe. Salut buat anaknya :)

    BalasHapus