Selasa, 16 Desember 2014

Raport Kurikulum 2013

Mak...beberapa waktu lalu Fawaz menerima raport semester 1. Di kelas 4 ini kurikulum yang diajarkan di sekolahnya adalah Kurikulum 2013. Begitu melihat penampakan raportnya, anak-anakpun hanya bergumam, "ah, raportnya hanya seperti ini saja..."

Dari kalimat sekilas itu saya bisa menyimpulkan bahwa anak-anak merasa kecewa. Pasalnya, cara pembelajaran yang diterapkan di sekolah mengharuskan anak-anak belajar keras agar mendapat nilai bagus. Bahkan mereka selalu berjuang untuk mengumpulkan poin-poinnya. Semakin banyak mendapat poin di sekolah, maka hasil yang didapat akan bagus. Dari poin-poin yang dikumpulkan selanjtkan akan diakumulasikan dengan nilai-nilai ulangan harian, ujian tengah semester dan ujian akhir semester.


Sudah bisa dibayangkan, pada saat penerimaan raport anak-anak akan mengetahui hasilnya. Ternyata, hal inipun seolah berbanding terbalik dengan harapan mereka. Raport yang diterimanya hanya berupa hasil evaluasi selama satu semester belajar, yang berbentuk tulisan dan bukan angka. Bahkan, di kurikulum ini tidak ada lagi sebutan rangking atau juara kelas. Anak-anak nampak sama tidak ada yang terlihat menonjol dari segi prestasi.

Mungkin seperti inilah penerapan Kurikulum 2013. Rangking kelas dihapus, raport dalam bentuk angka diubah menjadi hasil evaluasi yang berupa tulisan panjang lebar, mirip raport anak TK. Saya sempat khawatir, kenyataan seperti ini bukan malah memacu semangat belajar anak-anak, tetapi sebaliknya. Anak-anak jadi tak bersemangat untuk belajar.

"Percuma belajar, wong raportnya cuma begitu-begitu saja."
"Rugi dapat nilai bagus, hasilnya tidak ditulis dalam raport."

Bisa saja kata-kata itu muncul dari kepolosan anak-anak. Berbeda dengan raport yang berisi angka. Bila ada angka jelek, maka sang anak akan terpacu untuk memperbaikinya di semester selanjutnya. Bahkan orang tuapun juga dapat memantau hasil belajar anaknya melalui raport. Artinya, bila nilai raport yang diterima saat ini masih dibawah standart, orang tuapun harus siap membantu kesuksesan belajar anaknya di semester selanjutnya.

Saya rasa raport yang bentuknya seperti raport TK kurang cocok diterapkan untuk sekolah-sekolah yang telah menggunakan Kurikulum 2013. Pertama, bila tetap memaksakan dengan model raport seperti itu, harusnya cara belajarnyapun diubah. Anak tidak lagi dibebani dengan materi-materi yang terlalu berat, yang terkesan dipaksakan.

Menilik pelajaran yang diterima anak-anak TK, tentunya pelajarannya sangat santai, tak ada yang terkesan dipaksakan, seharusnya Kurikulum 2013 juga seperti itu bila tetap menginginkan raportnya berupa hasil evaluasi dalam bentuk tulisan. Namun siapapun pastinya ingin melihat prestasinya, minimal ingin menilai kemampuan akademiknya di sekolah melalui nilai-nilai yang tertera di raport. Raport adalah salah satu bukti keberhasilan belajar di sekolah.

Saya rasa model yang tepat untuk pendidikan di Indonesia adalah Kurikulum 2006, yang materinyapun dijelaskan secara detail per mata pelajaran. Bahkan, raportnya yang berisi nilai-nilai akumulasi semua ulangan, menunjukkan kesuksesan anak belajar di sekolah.

Semoga pemerintah utamanya Dinas Pendidikan bisa mengkaji ulang tentang penerapan kurikulum pendidikan yang cocok dan sesuai dengan anak-anak Indonesia.

1 komentar:

  1. Harusnya sekolah menyampaikan kepada ortu tentang sistem penilain Kurtilas. Hal tersebut untuk menyelaraskan juga cara/metode belajar anak. Ini yg seringkali lupa dilakukan oleh pihak sekolah. Sebab para guru biasanya sudah diribetkan dengan urusan sertifikasi/portofolio, assesmen/supervisi, pelatihan Kurtilas dan penilaian Kurtilas. Tapi jika sudah berjalan 3 semester, inshaallah akan lancar.

    BalasHapus