Minggu, 23 Agustus 2015

Sanggupkah Menjadi Ibu Yang Baik

Apakah saya sudah menjadi ibu yang baik?

Bagaimana dengan anak saya nantinya?

Apakah saya bisa membentuk karakter anak menjadi pribadi yang santun dan mandiri?

Terus terang pertanyaan-pertanyaan itu kerapkali berkelebat di benak saya. Bukan merasa gamang menghadapi kenyataan saat ini, namun sebentuk kekawatiran seolah terus menghantui saya, ketika menyaksikan berbagai kisah kehidupan.

sumber: adenprostusta.mywapblog.com

Beberapa waktu lalu, seorang kerabat menginap di rumah. Ia ingin menghabiskan liburan di Bali. Dari sinilah ketakutan saya bermula. Kebetulan ia bukan lagi anak kecil yang segala sesuatunya harus disiapkan. Melainkan ia seorang mahasiswa semester dua. Tentunya apa yang terbersit dibenak saya, ia adalah seorang anak yang sudah dewasa dan mandiri. Apalagi ia seorang laki-laki. Ternyata dugaan saya salah.

Ia datang ke rumah ditemani ibunya. Dalam bayangan saya, ia adalah seorang anak yang rajin dan santun. Mata saya tiba-tiba terbelalak ketika menyaksikan kemarahannya yang begitu hebat manakala ibunya memecahkan botol kecil berisi parfum. Padahal bila dilihat dari barangnya, rasanya tak begitu berharga. Hanya sebotol parfum yang dibeli di penjual parfum. Harganya cukup terjangkau, aroma dan nama parfumnya juga banyak dijual di pasaran. Namun yang menjadi pertanyaan saya, mengapa ia sedemikian murkanya hingga membentak ibunya dengan keras?

Dalam hati, saya hanya bisa mengucap “astaghfirullah”. Sementara saya lihat ibunya hanya tersenyum tanpa melakukan perlawanan. Tapi entahlah apa yang ada dalam benaknya. Yang jelas, saya sangat tidak setuju bila melihat seorang anak yang berlaku kasar terhadap wanita yang mengandungnya sembilan bulan, hanya karena hal sepele.

Bukan hanya itu. Hari-hari yang dijalaninya pun seolah minim aktifitas. Ia lebih sering menghabiskan waktunya diatas kasur, sambil terus memainkan handphonenya. Ketika matanya terbuka, maka selama itu pula, handphone itu tak pernah luput dari pandangannya. Hanya saat mandi atau makan saja ia taruh handphonenya. Kadang ia harus begadang, entah apa yang dilakukannya dengan handphone kesayangannya. Begitu matanya sudah tidak kuat bertahan, maka iapun men-charge handphonenya, untuk selanjutnya ia akan tidur.

sumber: aidil-rian.mywapblog.com
Kehidupannya nyaris tak terjadwal. Sholat lima waktu yang menjadi kewajibannya juga ditinggalkan. Tak ada teguran dari ibunya. Bahkan, ia lebih sering bangun siang dan berlagak menjadi bos yang tak pernah mengerjakan pekerjaan kasar. Ia cenderung pilih-pilih makanan. Bila tuan rumah menyediakan makanan enak, maka secepat kilat dihabiskannya, tanpa memikirkan apakah ada anggota keluarga yang belum makan? Namun bila makanan yang disediakan kurang sesuai seleranya, ia tak akan menyentuhnya.

Kejadian inilah yang membuat saya berpikir, bagaimana dengan masa depannya kelak? Ketika ia sudah hidup terpisah dengan orang tuanya dan mendapatkan pekerjaan sendiri? Apakah ia masih bergantung pada ibunya dan menjadikannya sebagai seseorang yang gampang disuruh?
Iya kalau dapat kerjaan, kalau tidak? Atau barangkali gaji yang diterimanya tak sesuai harapan, sementara ia sudah terbiasa hidup mewah tak mau merasakan betapa susahnya mengupayakan hidup. Jujur, saya sering merasa takut? Mampukah saya mendidik Fawaz menjadi pribadi yang baik hingga dewasa nanti?

Apa yang terjadi dengan kerabat saya, bisa jadi karena kesalahan pola asuh. Orang tua yang cenderung memanjakan anak, membiarkan anak tumbuh apa adanya, tanpa dibekali dengan ilmu agama, atau bisa jadi sang ibu tidak pernah mendoakan anak.

Anak adalah titipan Allah yang harus kita jaga dan rawat dengan baik. Sudah menjadi kewajiban kita untuk terus mendoakannya, meminta petunjuk kepada Allah, agar anak kita tidak salah langkah. Karena hanya doa ibulah yang membuat anak terhindar dari hal-hal buruk, yang senantiasa mendapatkan perlindungan dariNya.

Sayang terhadap anak bukan berarti membiarkan kita menuruti segala permintaannya atau bahkan rela menjadi budaknya. Namun ada batasan-batasan yang harus kita tanamkan kepada anak, agar kita tetap dihormati dan dihargainya sebagai orang tua. Membekali ilmu agama, tentunya jauh lebih penting ketimbang membekalinya dengan gadget. Dengan ilmu agama, niscaya anak akan tumbuh menjadi pribadi yang santun, disiplin dan berbakti pada orang tuanya.

Saya rasa gadget bukanlah alat yang tepat bagi anak bila toh akhirnya membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang cuek, tidak disiplin atau bahkan menganggap orang tuanya sebagai budak yang bisa disuruh-suruh. Bila gadget menimbulkan dampak buruk bagi pertumbuhan anak, alangkah baiknya sejak dini jauhkan alat-alat semacam itu dari jangkauan anak-anak. Karena sudah banyak bukti nyata bahwa kehadiran gadget di lingkungan anak-anak malah membuat mereka mengalamai kemunduran, bahkan nyawanya pun terancam.


Apalagi kita tidak bisa memungkiri, inilah masa yang terjadi saat ini. Masa dimana gadget menjadi dominan dan sudah umum dikalangan anak-anak jaman sekarang. Sembunyi dari kenyataanpun tak membuat kita terhindar dari aneka rupa gadget dengan aplikasinya. Hanya satu yang bisa kita lakukan, terus mendampingi anak dan memperhatikan tumbuh kembangnya. Melarang anak untuk tidak bermain gadget tidak berarti harus dengan kekerasan. Namanya anak, semakin dimarahi, semakin ia akan melawan. Terus beri pengertian, ingatkan bila tingkah lakunya menyimpang. Dan terus bekali ia dengan ilmu agama, agar setan tidak mempengaruhi jiwanya.

2 komentar:

  1. Ada mitos, apa yang terjadi pada anak adalah cerminan orang tuanya diwaktu ia masih kecil....

    ini yang dikatakan orang tua saya, sehingga saya selalu patuh perintah mereka agar anak anak saya kelak patuh pada saya hehehehe

    BalasHapus
  2. ya Allah, semoga kita semua bisa jadi ibu yg baik..anak2 juga bisa jadi anak yg baik ...aamiiin

    BalasHapus