Apakah saya sudah menjadi ibu yang baik?
Bagaimana dengan anak saya nantinya?
Apakah saya bisa membentuk karakter anak menjadi pribadi
yang santun dan mandiri?
Terus terang pertanyaan-pertanyaan itu kerapkali berkelebat
di benak saya. Bukan merasa gamang menghadapi kenyataan saat ini, namun
sebentuk kekawatiran seolah terus menghantui saya, ketika menyaksikan berbagai
kisah kehidupan.
sumber: |
Beberapa waktu lalu, seorang kerabat menginap di rumah. Ia ingin
menghabiskan liburan di Bali. Dari sinilah ketakutan saya bermula. Kebetulan ia
bukan lagi anak kecil yang segala sesuatunya harus disiapkan. Melainkan ia
seorang mahasiswa semester dua. Tentunya apa yang terbersit dibenak saya, ia
adalah seorang anak yang sudah dewasa dan mandiri. Apalagi ia seorang
laki-laki. Ternyata dugaan saya salah.
Ia datang ke rumah ditemani ibunya. Dalam bayangan saya, ia
adalah seorang anak yang rajin dan santun. Mata saya tiba-tiba terbelalak
ketika menyaksikan kemarahannya yang begitu hebat manakala ibunya memecahkan
botol kecil berisi parfum. Padahal bila dilihat dari barangnya, rasanya tak
begitu berharga. Hanya sebotol parfum yang dibeli di penjual parfum. Harganya cukup
terjangkau, aroma dan nama parfumnya juga banyak dijual di pasaran. Namun yang
menjadi pertanyaan saya, mengapa ia sedemikian murkanya hingga membentak ibunya
dengan keras?
Dalam hati, saya hanya bisa mengucap “astaghfirullah”. Sementara
saya lihat ibunya hanya tersenyum tanpa melakukan perlawanan. Tapi entahlah apa
yang ada dalam benaknya. Yang jelas, saya sangat tidak setuju bila melihat
seorang anak yang berlaku kasar terhadap wanita yang mengandungnya sembilan
bulan, hanya karena hal sepele.
Bukan hanya itu. Hari-hari yang dijalaninya pun seolah minim
aktifitas. Ia lebih sering menghabiskan waktunya diatas kasur, sambil terus
memainkan handphonenya. Ketika matanya terbuka, maka selama itu pula, handphone
itu tak pernah luput dari pandangannya. Hanya saat mandi atau makan saja ia
taruh handphonenya. Kadang ia harus begadang, entah apa yang dilakukannya
dengan handphone kesayangannya. Begitu matanya sudah tidak kuat bertahan, maka
iapun men-charge handphonenya, untuk selanjutnya ia akan tidur.
sumber: |
Kehidupannya nyaris tak terjadwal. Sholat lima waktu yang
menjadi kewajibannya juga ditinggalkan. Tak ada teguran dari ibunya. Bahkan, ia
lebih sering bangun siang dan berlagak menjadi bos yang tak pernah mengerjakan
pekerjaan kasar. Ia cenderung pilih-pilih makanan. Bila tuan rumah menyediakan
makanan enak, maka secepat kilat dihabiskannya, tanpa memikirkan apakah ada
anggota keluarga yang belum makan? Namun bila makanan yang disediakan kurang
sesuai seleranya, ia tak akan menyentuhnya.
Kejadian inilah yang membuat saya berpikir, bagaimana dengan
masa depannya kelak? Ketika ia sudah hidup terpisah dengan orang tuanya dan
mendapatkan pekerjaan sendiri? Apakah ia masih bergantung pada ibunya dan
menjadikannya sebagai seseorang yang gampang disuruh?
Iya kalau dapat kerjaan, kalau tidak? Atau barangkali gaji
yang diterimanya tak sesuai harapan, sementara ia sudah terbiasa hidup mewah
tak mau merasakan betapa susahnya mengupayakan hidup. Jujur, saya sering merasa
takut? Mampukah saya mendidik Fawaz menjadi pribadi yang baik hingga dewasa
nanti?
Apa yang terjadi dengan kerabat saya, bisa jadi karena
kesalahan pola asuh. Orang tua yang cenderung memanjakan anak, membiarkan anak
tumbuh apa adanya, tanpa dibekali dengan ilmu agama, atau bisa jadi sang ibu
tidak pernah mendoakan anak.
Anak adalah titipan Allah yang harus kita jaga dan rawat
dengan baik. Sudah menjadi kewajiban kita untuk terus mendoakannya, meminta
petunjuk kepada Allah, agar anak kita tidak salah langkah. Karena hanya doa
ibulah yang membuat anak terhindar dari hal-hal buruk, yang senantiasa
mendapatkan perlindungan dariNya.
Sayang terhadap anak bukan berarti membiarkan kita menuruti
segala permintaannya atau bahkan rela menjadi budaknya. Namun ada
batasan-batasan yang harus kita tanamkan kepada anak, agar kita tetap dihormati
dan dihargainya sebagai orang tua. Membekali ilmu agama, tentunya jauh lebih
penting ketimbang membekalinya dengan gadget. Dengan ilmu agama, niscaya anak
akan tumbuh menjadi pribadi yang santun, disiplin dan berbakti pada orang
tuanya.
Saya rasa gadget bukanlah alat yang tepat bagi anak bila toh
akhirnya membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang cuek, tidak disiplin atau
bahkan menganggap orang tuanya sebagai budak yang bisa disuruh-suruh. Bila gadget
menimbulkan dampak buruk bagi pertumbuhan anak, alangkah baiknya sejak dini jauhkan
alat-alat semacam itu dari jangkauan anak-anak. Karena sudah banyak bukti nyata
bahwa kehadiran gadget di lingkungan anak-anak malah membuat mereka mengalamai
kemunduran, bahkan nyawanya pun terancam.
Apalagi kita tidak bisa memungkiri, inilah masa yang terjadi
saat ini. Masa dimana gadget menjadi dominan dan sudah umum dikalangan
anak-anak jaman sekarang. Sembunyi dari kenyataanpun tak membuat kita terhindar
dari aneka rupa gadget dengan aplikasinya. Hanya satu yang bisa kita lakukan,
terus mendampingi anak dan memperhatikan tumbuh kembangnya. Melarang anak untuk
tidak bermain gadget tidak berarti harus dengan kekerasan. Namanya anak,
semakin dimarahi, semakin ia akan melawan. Terus beri pengertian, ingatkan bila
tingkah lakunya menyimpang. Dan terus bekali ia dengan ilmu agama, agar setan
tidak mempengaruhi jiwanya.
Ada mitos, apa yang terjadi pada anak adalah cerminan orang tuanya diwaktu ia masih kecil....
BalasHapusini yang dikatakan orang tua saya, sehingga saya selalu patuh perintah mereka agar anak anak saya kelak patuh pada saya hehehehe
ya Allah, semoga kita semua bisa jadi ibu yg baik..anak2 juga bisa jadi anak yg baik ...aamiiin
BalasHapus