Kamis, 20 Desember 2018

Bersatu Lebih Baik, Maka Hormatilah Perbedaan




Sebagai pribadi yang hidup berpindah-pindah, saya merasakan betapa kehidupan ini sangat heterogen. Masyarakat Indonesia dengan berbagai suku, budaya dan agama, harusnya mampu bersatu demi menjaga rasa persatuan dan menjalin persaudaraan yang makin erat. Sayang, tak semua masyarakat dapat berlaku demikian.

Saling serang, saling sulut masalah, bisa menjadi titik awal perpecahan. Padahal perpecahan itu amat menyakitkan. Hidup tidak tenang, bahkan dikejar-kejar musuh, akan menciptakan sebuah suasana yang tidak nyaman. Ada yang bertikai karena isu politik. Ada yang bermusuhan karena menganggap agamanya paling benar. Ada yang kejam, semena-mena karena dia merasa hebat, kuat, berkuasa,  Apakah demikian yang dikehendaki dari sebuah negara?

Indonesia pernah dijajah bangsa Asing begitu lama. Mereka ingin merebut Indonesia, karena sejatinya Indonesia itu indah. Kekayaan alamnya melimpah. Hasil tambangnya tersebar dari Sabang sampai Merauke. Akankah kita sebagai masyarakatnya merelakan begitu saja negara kita diambil oleh negara lain? Tidak ibakah pada kerja keras nenek moyang kita yang telah mati-matian mempertahankan Indonesia?

Inilah saatnya kita mulai berbenah. Mengaplikasikan makna yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila kedalam kehidupan sehari-hari. Tak perlu bayaran, sejatinya ketulusikhlasan dalam bertindak dan bertutur kata yang baik itu sangat diperlukan.

Hidup berdampingan dan saling menghargai merupakan wujud aplikasi dari nilai-nilai Pancasila. Tak mungkin selamanya kita hidup dengan masyarakat yang satu suku, satu agama dan satu pemahaman. Ada kalanya kita berada dalam perbedaan. Menjadi minoritas dari yang mayoritas. Menjadi satu dari banyaknya pemahaman yang berbeda. Akankah menjauh atau memusuhi mereka? Tentu tidak.

Sebagai bagian dari suku Jawa, saya berusaha memahami ketika berada dalam lingkungan yang berbeda. Hidup berpindah-pindah, merasakan begitu kentalnya perbedaan, dari Papua hingga ke Bali, dimana saya menjadi golongan minoritas, nyatanya menghargai mereka akan membuat kita dihormati.

Saat dimana saya dikelilingi oleh gereja-gereja, dimana setiap perayaan hari besar agama Kristen dan Katholik, sayapun merasakan hiruk pikuknya kemeriahan itu. Mendengar puji-pujian bahkan harus ikut libur bersama ketika mereka merayakan hari besarnya. Barangkali itu sudah menjadi tradisi mereka. Namun mereka tetap menghormati saya sebagai umat muslim.

Ketika saya diantara mereka, sedang melaksanakan puasa, mereka pun dengan sopannya menjauhi saya atau mengucapkan kata "maaf" ketika tanpa sengaja mereka makan sesuatu didepan saya.

Dari hal-hal kecil itulah persatuan dapat tercipta. Bahkan ketika di Bali, dimana mayoritas masyarakatnya memeluk Hindhu. Mereka larut dalam adat istiadat dan tradisi yang masih kental, namun saya berusaha menghormati mereka dengan segala kebiasaannya. Imbal baliknya, sayapun merasa nyaman berada diantara mereka.

Ketika sebuah pertanyaan tiba--tiba terlontar, "apakah tidak takut agama anak akan kacau ketika berada di Papua dan Bali." Jawaban saya adalah "tidak"..... dimanapun kita berada, tetap keyakinan adalah nomor satu. Niscaya kita tidak akan terpengaruh oleh mereka. Dan mereka pun tak mungkin akan mempengaruhi kita. Karena kami sadar, meski kami beda keyakinan, beda suku dan budaya, namun persaudaraan itu harus tetap terjaga.

Masalah anak, adalah tanggung jawab orang tua yang mendidik dan memberikan contoh terbaik dalam lingkungan rumah, serta mengarahkan untuk berbuat baik ketika berada diluar rumah. Berbagai pendekatan harus kita lakukan, agar anak juga memahami, meski hidup di lingkungan yang berbeda, namun kita harus tetap teguh pada pendirian.

Sayapun merasakan betapa dalamnya sikap saling menghormati itu ketika melihat seorang pemeluk agama Hindhu, dengan pakaian adat madya-nya membantu menertibkan kendaraan yang parkir di Masjid menjelang sholat Jumat. Atau umat muslim yang ikut menjaga ketertiban disaat perayaan ogoh-ogoh di malam menjelang hari raya Nyepi. Begitu damainya negeri ini, ketika dihiasi oleh sikap toleran antar pemeluk agama.

Lalu sikap saling sapa yang melahirkan keakraban, seperti saat kita menyapa tukang parkir, penjaga pom bensin atau penjual nasi bungkus, lalu kita ngobrol dengan mereka, ternyata perbedaan itu sesungguhnya tidak ada.

Tidak ada warga asli sebuah pulau yang memusuhi warga pendatang, bila mereka mau bertegur sapa, berbagi cerita atau berbagi kebahagiaan. Jadi marilah kita bina persatuan itu dari hal-hal yang kecil. Kita ciptakan keakraban, saling menghargai perbedaan, saling menghormati privasi masing-masing, niscaya perbedaan yang ada akan membangkitkan rasa persatuan. Dan persatuan itu pasti membuat negara kita menjadi negara yang kokoh, yang tidak akan mudah diambil paksa oleh negara lain. Jadi mulailah ciptakan persatuan itu dari dalam diri kita sendiri, dan mulailah dari hal-hal yang kecil. 

2 komentar:

  1. suasana menjelang pemilu biasa terasa agak panas... mari kita sejukkan dengan saling menjaga persahabatan demi kedamaian bagi semua....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih, cuaca memanas meskipun hujan telah turun. Banyak bendera partai menghiasi kota-kota....

      Hapus