Mak, pernah gak sih merasakan trauma berkepanjangan? Rasanya bikin takut-takut ngeri ya......
Eit...trauma apa dulu dong? Yang jelas bukan "trauma Marisa" ya hehehe.......
Oh ya mak, kebetulan saya pernah mengalami sebuah kejadian yang berakibat trauma akan suatu hal. Terus terang ini kesekian kalinya terjadi, namun justru bukan saya saja yang trauma, tetapi Fawaz lebih trauma lagi. Sampai-sampai dia terus mengingatkan saya untuk lebih waspada.
Apa coba? Lupa mematikan kompor disaat bepergian....hehehe.........
Jadi ceritanya begini, suatu malam Fawaz pergi mengaji di masjid. Sudah menjadi kebiasaan ketika menjelang I'sya, saya bersiap diri untuk menjemputnya. Kebetulan waktu itu suami saya baru datang dari kantor. Rupanya surat edaran dari kantor membuatnya panik.
Sudah menjadi tradisi di Bali, untuk memeriahkan hut kemerdekaan RI, setiap warga di komplek kami harus memasang penjor. Dan perintah dalam surat tersebut harus segera dilaksanakan. Akhirnya malam itu suami saya berniat membeli perlengkapan penjor setelah menjemput Fawaz. Saya pun turut serta.
Saya menyarankan untuk membeli penjor di Banjar Pitik, karena harganya lebih murah. Namun suami saya menolaknya. Ia mengajak saya ke tempat terdekat, dengan asumsi agar tidak terjebak macet, toh selisih harganya juga tak seberapa. Setelah menjemput Fawaz di masjid, akhirnya kami menuju toko terdekat untuk membeli perlengkapan penjor.
Lama kami di toko itu, karena banyak yang harus kami beli. Ternyata Fawaz merasa haus, sementara di toko itu tidak menjual minuman. Akhirnya suami saya menjanjikan untuk pergi ke mini market langganan setelah semua perlengkapan penjor terbeli semua. Tak begitu lama, kami meninggalkan toko itu dan menuju mini market untuk membeli minuman. Seperti biasa, saya yang membelikan minuman itu, sementara Fawaz menunggu di motor bersama papanya.
Belum selesai berbelanja, tiba-tiba suami saya datang dengan wajah paniknya. Dia bilang belum mematikan kompor di rumah. Sewaktu berangkat menjemput Fawaz, dia tengah memanasi kuah sup iga dalam panci, dan lupa mematikan kompornya. Saat itu juga, saya dan Fawaz sangat panik. Membayangkan rumah dinas kami yang hangus terbakar dilalap jago merah, membayangkan kerumunan orang yang sibuk mematikan api....duh....sepanjang jalan saya dan Fawaz menangis. Bahkan suami saya pun seolah gemetar, tidak bisa membawa motornya dengan tenang.
Sampai didepan rumah, kami masih gemetar, bahkan motor yang dikendarai suami hampir saja roboh, Fawaz hampir jatuh. Tangan saya gemetar, tidak bisa membuka kunci pintu rumah. Begitu pintu itu terbuka......astaghfirullah, seisi rumah penuh dengan asap. Bau gosong tercium sangat menyengat. Sementara, panci yang berada diatas kompor menunggu detik-detik meletus, karena sama sekali tak ada air didalamnya. Bahkan, iga sapi yang tersisa nyaris tak berbentuk, tinggal tulang yang berwarna hitam legam.
Sekali lagi Fawaz menangis sekencang-kencangnya. Rupanya ia sangat trauma dengan kejadian itu. Saya juga demikian, meski bersyukur tidak sampai menghabiskan bangunan rumah, namun kejadian itu membuat saya harus lebih berhati-hati.
Agaknya kejadian itu menjadi trauma berkepanjangan bagi Fawaz, namun dari segi positif ada manfaatnya juga. Ketika kami akan bepergian, Fawaz selalu mengingatkan saya untuk mengecek kompor. Dia tidak akan percaya bila saya hanya berkata "sudah" namun tidak memastikan sendiri ke dapur dan melihat langsung kompor di dapur. Inilah yang akhirnya menjadi kebiasaan kami ketika akan meninggalkan rumah. Terus terang kejadian itu membuat dada saya terasa sesak membayangkan hal buruk akan terjadi dengan rumah dinas kami. Andai rumah dinas kami benar-benar terbakar, apalah jadinya...pastinya kami menanggung malu atas keteledoran yang kami perbuat sendiri.
Nah...emak-emak sekalian jangan lupa matikan kompor dan pastikan kompor dalam keadaan benar-benar mati sebelum ditinggal pergi ya. Kalau sampai terbakar...bahaya tahu.........
Eit...trauma apa dulu dong? Yang jelas bukan "trauma Marisa" ya hehehe.......
Oh ya mak, kebetulan saya pernah mengalami sebuah kejadian yang berakibat trauma akan suatu hal. Terus terang ini kesekian kalinya terjadi, namun justru bukan saya saja yang trauma, tetapi Fawaz lebih trauma lagi. Sampai-sampai dia terus mengingatkan saya untuk lebih waspada.
Apa coba? Lupa mematikan kompor disaat bepergian....hehehe.........
Jadi ceritanya begini, suatu malam Fawaz pergi mengaji di masjid. Sudah menjadi kebiasaan ketika menjelang I'sya, saya bersiap diri untuk menjemputnya. Kebetulan waktu itu suami saya baru datang dari kantor. Rupanya surat edaran dari kantor membuatnya panik.
Sudah menjadi tradisi di Bali, untuk memeriahkan hut kemerdekaan RI, setiap warga di komplek kami harus memasang penjor. Dan perintah dalam surat tersebut harus segera dilaksanakan. Akhirnya malam itu suami saya berniat membeli perlengkapan penjor setelah menjemput Fawaz. Saya pun turut serta.
pasang penjor di depan rumah |
Lama kami di toko itu, karena banyak yang harus kami beli. Ternyata Fawaz merasa haus, sementara di toko itu tidak menjual minuman. Akhirnya suami saya menjanjikan untuk pergi ke mini market langganan setelah semua perlengkapan penjor terbeli semua. Tak begitu lama, kami meninggalkan toko itu dan menuju mini market untuk membeli minuman. Seperti biasa, saya yang membelikan minuman itu, sementara Fawaz menunggu di motor bersama papanya.
Belum selesai berbelanja, tiba-tiba suami saya datang dengan wajah paniknya. Dia bilang belum mematikan kompor di rumah. Sewaktu berangkat menjemput Fawaz, dia tengah memanasi kuah sup iga dalam panci, dan lupa mematikan kompornya. Saat itu juga, saya dan Fawaz sangat panik. Membayangkan rumah dinas kami yang hangus terbakar dilalap jago merah, membayangkan kerumunan orang yang sibuk mematikan api....duh....sepanjang jalan saya dan Fawaz menangis. Bahkan suami saya pun seolah gemetar, tidak bisa membawa motornya dengan tenang.
Sampai didepan rumah, kami masih gemetar, bahkan motor yang dikendarai suami hampir saja roboh, Fawaz hampir jatuh. Tangan saya gemetar, tidak bisa membuka kunci pintu rumah. Begitu pintu itu terbuka......astaghfirullah, seisi rumah penuh dengan asap. Bau gosong tercium sangat menyengat. Sementara, panci yang berada diatas kompor menunggu detik-detik meletus, karena sama sekali tak ada air didalamnya. Bahkan, iga sapi yang tersisa nyaris tak berbentuk, tinggal tulang yang berwarna hitam legam.
Sekali lagi Fawaz menangis sekencang-kencangnya. Rupanya ia sangat trauma dengan kejadian itu. Saya juga demikian, meski bersyukur tidak sampai menghabiskan bangunan rumah, namun kejadian itu membuat saya harus lebih berhati-hati.
Agaknya kejadian itu menjadi trauma berkepanjangan bagi Fawaz, namun dari segi positif ada manfaatnya juga. Ketika kami akan bepergian, Fawaz selalu mengingatkan saya untuk mengecek kompor. Dia tidak akan percaya bila saya hanya berkata "sudah" namun tidak memastikan sendiri ke dapur dan melihat langsung kompor di dapur. Inilah yang akhirnya menjadi kebiasaan kami ketika akan meninggalkan rumah. Terus terang kejadian itu membuat dada saya terasa sesak membayangkan hal buruk akan terjadi dengan rumah dinas kami. Andai rumah dinas kami benar-benar terbakar, apalah jadinya...pastinya kami menanggung malu atas keteledoran yang kami perbuat sendiri.
Nah...emak-emak sekalian jangan lupa matikan kompor dan pastikan kompor dalam keadaan benar-benar mati sebelum ditinggal pergi ya. Kalau sampai terbakar...bahaya tahu.........
Ya Allah...syukurlah tidak terjadi kejadian yg menakutkan.
BalasHapusSoal kompor, saya pun sudah empat kali menghanguskan panci karna lupa mematikan kompor. kejadiannya waktu tinggal di banjarmasin. terakhir malah bikin rumah sampai berasap. bayangkan jika rumah panggung dari kayu terlalap api semua. hiii...
semoga fawaz bisa segera melupakan traumanya ya mak